![]() |
| Doc.istimewa |
Tindakan anarkis tersebut tidak hanya merugikan secara materiil, tetapi juga secara moral. Sejatinya, kebebasan berpendapat merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun, apa yang terjadi di Sampang justru memperlihatkan penyimpangan dari semangat tersebut. Segelintir pelaku yang bertindak di luar batas hukum telah menodai perjuangan masyarakat desa yang sejatinya ingin memperjuangkan keadilan secara damai.
Fenomena ini, jika dilihat dari sudut pandang sosiologis, menggambarkan apa yang disebut oleh Neil Smelser (1962) sebagai “distorsi kolektif” suatu kondisi ketika tindakan individu tertentu mampu mengubah arah aksi massa menjadi kekerasan simbolik dan fisik. Para pelaku perusakan biasanya bukan bagian dari inti gerakan, melainkan oportunis yang memanfaatkan situasi emosional untuk melampiaskan kemarahan pribadi atau kepentingan tertentu.
Kerusakan yang terjadi di kawasan Alun-Alun Sampang, seperti taman, kursi, dan elemen estetika kota, menjadi bukti nyata hilangnya kontrol sosial di tengah memuncaknya tensi massa. Akibatnya, citra perjuangan masyarakat yang menuntut keadilan dalam Pilkades menjadi tercoreng, dan semangat aspiratif warga tergantikan oleh citra negatif anarki.
Secara sosial, tindakan tersebut juga menimbulkan luka mendalam. Menurut Robert Putnam (2000) dalam teori “social capital”, ruang publik seperti alun-alun memiliki peran penting dalam membangun kepercayaan sosial dan solidaritas antarwarga. Ketika fasilitas umum dirusak, yang hancur bukan hanya bangunan fisiknya, tetapi juga simbol kebersamaan masyarakat. Alun-alun selama ini menjadi tempat warga berkumpul, berdagang, dan berwisata. Kerusakannya berarti hilangnya ruang interaksi sosial serta terganggunya roda ekonomi rakyat kecil.
Dari sisi hukum, perbuatan para oknum perusak jelas melanggar Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kekerasan terhadap barang, yang dapat diancam dengan pidana penjara hingga lima tahun enam bulan. Selain itu, aksi tersebut juga melanggar Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang menegaskan bahwa demonstrasi harus dilakukan secara tertib, damai, dan tidak mengganggu kepentingan umum.
Tindakan anarkis ini bukan hanya kejahatan hukum, melainkan juga bentuk pengkhianatan terhadap semangat konstitusional kebebasan berekspresi yang seharusnya dijalankan secara beretika dan bermartabat.
Perubahan sejati tidak akan lahir dari kekerasan, melainkan dari keberanian menyuarakan kebenaran dengan cara damai dan beradab. Fasilitas publik seperti Alun-Alun Sampang adalah hasil kerja keras rakyat—simbol kebanggaan sekaligus wajah kota yang menyatukan berbagai lapisan masyarakat.
Ketika dirusak, yang runtuh bukan hanya bangunannya, tetapi juga harga diri kolektif warga Sampang. Karena itu, sudah sepatutnya seluruh elemen—pemerintah daerah, aparat keamanan, hingga masyarakat—bersatu menjaga ruang publik dari tindakan anarki. Menjaga alun-alun berarti menjaga martabat kota, dan menjaga martabat kota berarti menjaga kehormatan bersama.
Penulis: Presma STKIP PGRI Sampang sekaligus Koorsu Hukum,HAM, dan anti korupsi BEMSA
Fendi Pradana

0 Komentar