Program swasembada pangan di Jawa Timur yang digadang-gadang sebagai tonggak penting dalam menjaga kedaulatan pangan daerah dengan potensi lahan pertanian yang luas dan produktivitas petani yang tinggi selama bertahun-tahun menjadi lumbung pangan nasional, khususnya untuk komoditas padi, jagung, dan tebu. Justru menuai kritik tajam dari berbagai akademisi, petani kecil, dan kelompok masyarakat sipil yang menilai bahwa capaian swasembada pangan lebih bersifat kosmetik ketimbang transformatif di balik narasi keberhasilan tersebut.
BEM PTNU Jawa timur sebagai wadah kaum muda nahdliyin mengupas secara kritis berbagai persoalan dalam program swasembada pangan di Jawa Timur, termasuk ketimpangan akses, model pertanian yang eksploitatif, ketergantungan pada korporasi besar, serta absennya keberpihakan pada petani kecil dan perempuan tani.
1. Swasembada dalam Bingkai Statistik: Narasi Prestasi yang Abai pada Realitas
Pemerintah Provinsi Jawa Timur secara konsisten mengklaim keberhasilan dalam sektor pangan melalui data statistik: surplus beras, produksi jagung yang meningkat, hingga peningkatan ekspor hasil pertanian.
Pada tahun 2024, luas panen padi di Jawa Timur tercatat sebesar 53.174.340 hektar, meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar 47.125.840 hektar. Produksi gabah kering giling (GKG) dari lahan seluas 1,62 juta hektar bahkan mencapai 9,2 juta ton—melebihi kebutuhan konsumsi provinsi dan mendukung surplus pangan nasional.
Namun, keberhasilan ini lebih banyak bersifat makro dan tidak mencerminkan realitas mikro di lapangan. Misalnya, petani di Madura dan Tapal Kuda dan berbagai daerah lain masih mengalami fluktuasi harga, kesulitan akses pupuk, dan tekanan biaya produksi yang tinggi. Surplus pangan di tingkat provinsi tidak serta-merta menjamin ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Bahkan, beberapa wilayah justru mengalami kerentanan pangan karena hasil panen diserap industri pakan atau distribusi antardaerah yang tidak berpihak pada lokalitas.
2. Ketimpangan Akses dan Siapa yang Diuntungkan
Salah satu kritik tajam terhadap program ini adalah kecenderungannya untuk lebih menguntungkan kelompok besar seperti korporasi pertanian dan pemilik lahan luas, ketimbang petani gurem. Pemerintah provinsi kerap menjalin kemitraan dengan BUMN atau korporasi pangan swasta dalam penyediaan benih, pupuk, hingga pengolahan hasil.
Padahal, menurut data Sensus Pertanian 2023, dari total sekitar 27,8 juta petani di Indonesia, sebanyak 17,25 juta adalah petani gurem—yakni mereka yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Di Jawa Timur, dominasi petani gurem masih tinggi, tetapi mereka kerap terpinggirkan dari program-program seperti subsidi, pelatihan, dan akses modal. Model pertanian berbasis kemitraan justru memperkuat ketimpangan agraria dan menjadikan petani sebagai tenaga produksi murah, bukan subjek yang berdaulat atas lahannya.
3. Ketergantungan pada Input Eksternal dan Risiko Keberlanjutan
Model swasembada pangan Jawa Timur masih sangat bergantung pada input eksternal seperti benih hibrida, pupuk kimia, dan pestisida sintetis. Skema ini mereproduksi pola Revolusi Hijau yang dalam jangka panjang mengancam keberlanjutan sistem pangan.
Menurut analisis IPB, proyeksi swasembada beras di Pulau Jawa (termasuk Jatim) akan tidak berkelanjutan pada 2027, karena laju pertumbuhan produksi hanya 0,16% per tahun, sedangkan kebutuhan konsumsi terus meningkat. Model intensif ini berisiko menurunkan kesuburan tanah, meningkatkan ketergantungan impor bahan baku, dan menyulitkan petani kecil untuk bertahan karena biaya produksi yang tinggi.
Pemerintah provinsi belum menunjukkan komitmen kuat terhadap model pertanian berkelanjutan seperti agroekologi, padahal ini menjadi jawaban atas krisis iklim dan krisis pangan global.
4. Ketimpangan Gender dan Minimnya Regenerasi Tani
Dalam konteks sosial budaya Jawa Timur, perempuan memegang peran penting dalam seluruh rantai produksi pangan—dari pengolahan lahan hingga distribusi rumah tangga. Namun program-program pangan belum secara substantif melibatkan perempuan tani sebagai subjek utama pembangunan.
Begitu pula dengan pemuda desa. Program “petani milenial” yang digulirkan seringkali hanya berfokus pada pelatihan teknologi, tanpa dibarengi jaminan akses tanah, permodalan, dan kepastian harga. Tidak heran jika minat generasi muda untuk terjun ke pertanian menurun drastis, dan sektor ini kehilangan daya regeneratif.
5. Pertanian Menyusut dalam Struktur Ekonomi Jawa Timur
Meskipun swasembada pangan dijadikan narasi utama, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Jawa Timur justru terus menurun—dari 11,88% pada 2020 menjadi hanya 10,66% pada 20245. Penurunan ini menunjukkan melemahnya posisi ekonomi pertanian dalam struktur pembangunan daerah.
Alih-alih memperkuat sektor ini secara struktural, pemerintah lebih banyak mendorong investasi industri dan jasa, sementara pertanian ditopang oleh kerja informal petani kecil yang rentan dan tidak mendapatkan jaminan kesejahteraan yang memadai.
6. Reforma Agraria: Fondasi yang Tak Ditegakkan
Tak satu pun keberhasilan pangan akan berumur panjang tanpa penataan ulang struktur penguasaan tanah. Sayangnya, program reforma agraria yang seharusnya menjadi pondasi kedaulatan pangan tidak dijadikan agenda prioritas di Jawa Timur. Konflik agraria dengan PTPN, Perhutani, maupun perusahaan swasta belum ditangani secara sistemik.
Alih-alih mereformasi struktur kepemilikan, program swasembada justru berjalan di atas struktur timpang yang menjadikan banyak petani penggarap sebagai pekerja tanpa hak.
7. Alternatif dan Rekomendasi Sebagai jalan keluar, program swasembada pangan di Jawa Timur sebaiknya:
● Meninggalkan logika surplus dan beralih pada paradigma kedaulatan pangan: hak rakyat untuk memproduksi, mendistribusikan, dan mengakses pangan sehat sesuai budaya lokal.
● Mendorong sistem pertanian agroekologi, dengan dukungan untuk benih lokal, pupuk organik, dan konservasi tanah.
● Melibatkan perempuan dan pemuda sebagai aktor utama melalui pelatihan, akses modal, dan distribusi tanah.
● Mengintegrasikan program pangan dengan reforma agraria substantif, termasuk redistribusi lahan eks-HGU dan kawasan konflik.
Membentuk indikator ketahanan pangan lokal berbasis rumah tangga dan desa, bukan hanya PDRB dan ekspor.
Program swasembada pangan di Jawa Timur memang mencatat sejumlah capaian di atas kertas. Namun tanpa reformasi struktural, keberhasilan ini berisiko menjadi sekadar angka statistik yang menutupi luka di akar rumput. Petani kecil tetap tertinggal, perempuan tani tidak terdengar, dan tanah pertanian terus tergerus.
Sudah saatnya Jawa Timur tidak hanya membangun ketahanan pangan, tetapi juga keadilan pangan yang menempatkan petani, bukan korporasi, sebagai pelaku utama pembangunan.
Daftar Pustaka
1. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. (2024). Luas Panen Padi Menurut Kabupaten/Kota. https://jatim.bps.go.id ↩
2. Kominfo Provinsi Jatim. (2024). Produksi GKG Capai 9,2 Juta Ton. https://kominfo.jatimprov.go.id ↩
3. BPS Indonesia. (2023). Sensus Pertanian 2023. https://sensus.bps.go.id ↩
4. Susilowati, Sri Hery & Maulana. (2023). Analisis Capaian Program Swasembada Beras di Pulau Jawa. Jurnal Ekonomi Pertanian. https://journal.ipb.ac.id ↩
5. Times Indonesia. (2025). Kontribusi Pertanian terhadap PDRB Menurun. https://timesindonesia.co.id ↩
Jurnalis || Sefty hasan khusaini
(Kordinator wilayah BEM PTNU Jatim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar